Senin, 08 Juni 2009

Keistimewaan Yogyakarta

PERENUNGAN UNTUK KERABAT RAKYAT MATARAM

TERHADAP KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA

By Joko Bawono

Salam kerabat

Marilah kita menelaah kembali beberapa peristiwa yang pernah menyatakan sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta sembari mengarifi logika perkembangan masyarakat darah keturunan kerabat Mataram.

Pertama, pada hari Kamis kliwon tanggal 29 rabi’ul akhir 1680 / 13 Februari 1755, terjadi penandatanganan “ Perjanjian Gianti” atau “ Palihan Nagari” yang membelah dua negara Mataram antara Sri Susuhunan Paku Buwono III dengan Sri Susuhunan Kebanaran yang bergelar Hamengku Buwono I. Konteks peristiwa tersebut membenarkan teori Hartingh kepercayaan Gubernur Jendral Mossel yang menggantikan Van Hohendrorf,_bahwa :

Setiap kerusakan dan kekalutan Mataram merupakan keuntungan bagi VOC”.

Setelah terjadi 111 Perjanjian Dagang antara VOC dengan Mataram sampai tahun 1705, dan perjanjian-perjanjian politik sesudahnya, terjadi perusakan dan sekaligus perlawanan rakyat bersama Kraton Mataram berhadapan vis a vis dengan VOC / Kompeni.

Kedua, Proklamasi Kemerdekaan Republik st="on"Indonesia dan peristiwa sembilan belas hari sesudahnya, yaitu Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada 5 September 1945 melalui RRI Nusantara Yogyakarta :

1. Bahwa Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat yang bersifat Kerajaan adalah Daerah Istimewa dari Negara Republik st="on"Indonesia.

2. Bahwa kami sebagai Kepala daerah memegang segala kekuasaan dalam negeri Ngayogyakarta Hadiningrat dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan-keadaan pada dewasa ini segala urusan Pemerintah dalam Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat mulai saat ini berda di tangan kami, dan kekuasaan-kekuasaan lainnya kami pegang seluruhnya.

3. Bahwa perhubungan antara Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia.

Pada saat yang hampir bersamaan, Sri Pakualaman VIII juga mengumumkan amanatnya, dengan isi dan jiwa yang bersamaan. Dengan memperhatikan kosakata masyarakat, tidak ada yang berani meramalkan legenda “Naga Kiai Jaga” perulangan sejarah setelah 190 tahun Sri Sultan Hamengku Buwono I menetapkan calon ibukotanya. Tetapi juga dapat dibaca, ada pengisian makna nama “Indonesia”, sebagaimana diharapkan dalam risalah-risalah rapat Indonesische Vereeniging di Rotterdam, 8 Februari 1925, bahwa “Pergerakan rakyat timbul bukan karena pemimpin bersuara, tetapi pemimpin pemimpin bersuara karena ada pergerakan.” Konteks dari peristiwa tersebut adalah swapraja (Zelbestuur) pertama yang menyatakan dengan tegas berdiri di belakang Negara Kesatuan Republik st="on"Indonesia beserta konsekuensinya.

Ketiga, semenjak 1 Januari 2001 sebagai teks dan konteks pelaksanaan otonomi daerah, tidak terkecuali di daerah Istimewa Yogyakarta. Inilah proses restrukturisasi masyarakat yang panjang, yang kadang melelahkan dan menegangkan, sekaligus membenarkan betapa budaya bernegara merupakan perebutan hak untuk menafsirkan wadah di mana masyarakat menemukan dunianya, mengungkapkan perasaan dan membuat penilaian.

Marilah kita mengkaji betapa dalam hal untuk melakukan regulasi yuridis terhadap keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, kita mencatat terjadinya ledakan-ledakan wacana, politik kata-kata. Beragamnya penafsiran terhadap hal ini, boleh jadi karena terlalu singkat dan kurang komprehensifnya UU No. 3 jo 19/1950.

Atau barangkali karena kuatnya aspirasi masyarakat (solus populli) yang dengan kecintaannya terhadap DIY ini ingin menawarkan paradigma yang berbeda.

Kerabat Rakyat Mataram memahami, bahwa solus populli akan bisa berubah menjadi supremasi kepentingan masyarakat (the supreme of public interest), yang selanjutnya bisa memperoleh justifikasi sebagai suprema lex. Dan aspirasi ini bisa mempunyai basis moral secara hukum melalui suprema lex dengan mewujudkan dalam sistem (Yunani: sun-tidhemai, meletakan bersama) ke Daerah Istimewaan Yogyakarta- an.